Indonesia Diminta Hentikan Aktivitas Bilateral dengan Inggris
06 Mei 2013, 09:24:57 Dilihat: 250x
Susi Fatimah - Okezone
Pembukaan Kantor Free Wet Papua di Inggris (Foto: Facebook)
JAKARTA - Organisasi Papua Barat atau Free West Papua Campaign terus mencari dukungan dari dunia internasional. Indonesia pun didesak menghentikan aktivitas bilateral dengan Inggris yang meresmikan pembukaan kantor OPM.
Wakil Ketua Komisi I DPR Ramadhan Pohan mengatakan masalah Papua secara bilateral sudah pernah dirundingkan dengan Belanda dalam isu Irian Barat. Hasil perundingan itu, lanjut Ramadhan, sudah selesai dengan adanya pengakuan internasional secara hukum dengan penandatangan New York Agreement antara RI dengan Belanda, dengan mediasi Amerika Serikat, dan kemudian disahkan lewat Resolusi PBB 1752/XVII (1962).
"New York Agreement ini menjadi dasar Resolusi tersebut, yang sebelumnya telah mendapat persetujuan Dewan Keamanan PBB, termasuk lima anggota tetap dimana Inggris salah satunya," papar Ramadhan dalam pesan singkat yang diterima Okezone, Senin (6/5/2013).
Ramadhan mengatakan secara bilateral, tidak ada urusan Pemerintah Indonesia dengan Inggris terkait Irian Barat. "Sampai saat ini, kita tidak menghadapi klaim apapun dari negara lain. Inggris sepertinya kebablasan," tuturnya.
Lebih lanjut Ramadhan menuturkan bahwa dirinya meragukan agumentasi dari Dubes Inggris bahwa insiden peresmian kantor OPM bukan kebijakan pemerintahnya. Menurutnya, pernyataan Dubes Inggris itu terlalu defensif, sumir, naif dan tidak dapat diterima.
"Acara itu dihadiri unsur negara yaitu parlemen dan pemerintah. Walikota Oxford datang. Mau berkilah apa lagi?," tegasnya.
Ramadhan juga secara tegas menolak dalih Dubes Inggris yang merujuk adanya masalah HAM di Papua. Baginya, ini adalah pendekatan lama yang valid di masa Orde Baru. Padahal dunia internasional mengetahui bahwa setelah reformasi, Indonesia telah berubah positif dan disambut baik di mata dunia. Indonesia telah menjadi negeri yang menjunjung tinggi HAM dan demokrasi.
"Kita. Juga telah menjadi penggerak kemajuan di ASEAN, dan Indonesia mau berbagi pengalaman soal HAM dan demokrasi dgn semua negara di dunia. Lagipula, semua negara termasuk AS ataupun Inggris punya catatan yang menjadi kewajiban untuk diselesaikan," kata Ramadhan.
Pekerjaan Rumah Pemerintah Indonesia terkait HAM, lanjut Ramadhan, bukanlah urusan Inggris, melainkan utang Indonesia, yang progresnya dilaporkan kepada United Nation High Commision of Human Rights di Jenewa.
"Inggris perlu menjunjung tinggi etiket hubungan antar-negara, tidak pantas intervensi pada urusan HAM kita. Kita lebih paham dan tahu bahwa dalam negeri yang memang masih banyak masalah. Kita tahu dan mampu menyelesaikannya tanpa bantuan Inggris," tegasnya.
Ramadhan menyesalkan sikap Pemerintah Inggris yang melakukan tindakan seperti itu, padahal Presiden SBY baru saja berkunjung ke Inggris dan bersama Ratu dan PM Inggris telah membuat komitmen memajukan kerjasama bilateral di segala bidang, termasuk di bidang politik, HAM, demokrasi, lingkungan, ekonomi, dan pendidikan.
Seharusnya, sambung dia, Inggris tidak boleh menganggap komitmen kedua ini enteng. Dunia telah akui banyak kemajuan di Indonesia, termasuk soal Papua.
"Perlu kita pertanyakan apa motif Inggris ingin ikut ambil bagian. Dalam format dan modalitas seperti apa? Kami yakin, rakyat Indonesia khawatir, jika kita tidak tegas terhadap Inggris, maka perkembangan mengejutkan di Oxford itu juga akan jadi preseden buruk," tuturnya.
Sebaiknya, Pemerintah Inggris menyibukkan diri dengan persoalan Irlandia Utara yang hingga kini belum tuntas. Pemerintah Indonesia diminta tegas menyikapi kasus ini.
"Sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, sikap Pemerintah Inggris itu sangat disesalkan. Penurunan tingkat hubungan, atau bahkan penghentian kegiatan bilateral harus dapat menjadi opsi bagi kita," tutupnya. (AUL)