Pemerintah sudah bulat tekad menghapus Ujian Nasional (UN). Presiden Joko Widodo juga sudah merestui. Kemendikbud akan mengganti UN menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Penilaiannya terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.
Kebijakan tersebut kita harapkan mendorong peserta didik berpikir logis, berprestasi sesuai kompetensi dan mengasah karakter siswa lebih baik. Selain itu, guru juga ditantang agar menerapkan proses belajar dua arah. Yang dapat dipahami siswa dan bukan hanya sekedar hafalan semata.
Berbeda dengan penerapan UN yang menilai siswa dari nilai-nilai kognitif yang tertulis dengan angka di hasil lembar jawaban. Sementara nilai dari sikap dan perilaku untuk membentuk siswa yang berbudi pekerti serta berkarakter justru dikesampingkan. Saya melihat kebutuhan dunia pendidikan kita pada penguatan basis pendidikan karakter dan kompetensi moral sangat krusial.
Berdasarkan pengalaman menekuni dunia pendidikan 10 tahun terakhir dengan mendirikan jaringan sekolah Insan Cendekia Madani (ICM), konsep sekolah berasrama (boarding school) dapat diandalkan untuk membangun kompetensi intelektual dan moral atau karakter siswa. Pendidikan Islam modern berbasis boarding school merupakan solusi implementatif konsep link and match.
Gagasan besar link and match dalam terjemahan implementatifnya memang bakal merombak sistem pendidikan kita. Mungkin akan ada kejutan lain dari Mas Menteri setelah penghapusan UN ini. Pasalnya, link and match tidak bisa dilihat secara konvensional mengingat tantangan dunia pendidikan kita semakin kompleks.
Seperti penghapusan UN, konsep link and match juga menuai pro kontra sejak awal dimunculkan pasca-pelantikan. Jalan implementasi link and match memang tidak mudah. Regulasi lama harus dibongkar kembali (deregulasi) agar relevan. Birokrasi pun harus ditinjau lagi (debirokrasi) agar sesuai dengan kebutuhan implementasi konsep pamungkas link and match.
Link and match yang dilontarkan Mas Menteri dan disambut dengan sorot kecurigaan itu sebetulnya bukan barang baru. Tudingan bahwa link and match mengarah pada kapitalisasi dan industrialisasi pendidikan juga tidak berdasar. Pasalnya ide ini sudah ketengahkan sejak era Prof Dr Ing Wardiman Djojonegoro memangku jabatan Mendikbud RI tahun 1993-1998. Sebelum wajah dunia sekapilastik dan seindustrialis saat ini.
Bila dilacak lebih dalam, link and match lahir dari rahim Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Pak Wardiman, Mendikbud kala itu adalah kolega B.J Habibie, penggagas dan Ketum ICMI. Kedua sosok ini sama-sama beraktivitas di ICMI yang tokoh sentralnya adalah Habibie. Ketum ICMI saat ini, Prof. Jimly Asshiddiqie adalah Sekretaris Pak Wardiman ketika link and match mulai jadi perbincangan publik. Bahkan jadi materi forum-forum seminar.
Oleh Habibie, saya bersama teman-teman di ICMI didaulat terlibat langsung dalam merealisasikan pilot project link and match di dunia pendidikan. Saat menjabat sebagai Sekretaris Orwil ICMI Jakarta, kami ditugaskan oleh Majelis Pusat ICMI untuk mendirikan institusi pendidikan yang bisa menerjemahkan konsep link and match.
Maka lahirlah sekolah Insan Cendekia. Kini Madrasah Aliyah Negeri di bawah Kementerian Agama. Jaringannya pun telah berkembang sangat luas ke berbagai daerah. Di awal-awal 100% beasiswa dengan seleksi superketat. Saat ini, kabarnya sudah ada yang berbayar.
Di sektor swasta, di bawah pengelolaan yayasan, saya lantas mendirikan Insan Cendekia Madani (ICM) di Serpong. Dengan berbagai inovasi, pengembangan kurikulum hingga adopsi teknologi mutakhir. Termasuk rutin mengirim pelajar ke Singapura, Inggris hingga Amerika Serikat untuk belajar tentang berbagai hal. Pergaulan global lintas negara, kultur, etnis, dan agama. Hingga belajar tentang terobosan terkini di bidang sains dan teknologi.
Dalam perkembangannya, sambutan terhadap ICM sangat luas. Lalu mulai dikembangkan. Kini ada ICM Gunung Geulis di Puncak Bogor, ICM Mandalle di Pangkep, tanah kelahiran saya, dan Insan Cita di Serang, Banten.
Gagasan dasar institusi-institusi pendidikan ini sama. Untuk menyiapkan generasi mendatang yang siap mengarungi dan berkiprah untuk perubahan dunia, dengan bekal iman dan takwa. Link and match dalam bahasa Mas Menteri. Bahasa teknis link and match itu dibingkai secara filosofis oleh Habibie. Pendidikan berbasis iman takwa (Imtak) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
Maka gugatan moral dalam membaca gagasan link and match saya kira tidak relevan lagi. Bahwa konsep tersebut lahir dari rahim yang mewadahi para cendekiawan, dipimpin oleh putra bangsa paling jenius hingga saat ini.
Tantangan kita sebagai insan pendidikan adalah menerjemahkan link and match dengan memfirasati masa depan lingkungan lokal dan global satu hingga dua dekade ke depan. Kegelisahan di balik gagasan link and match tahun 90-an terbukti saat ini. Bahkan sangat presisi.
Misalnya, shifting paradigma melihat lembaga pendidikan sebagai institusi yang menerbitkan sertifikat belajar atau ijazah, menjadi kawah candradimuka melahirkan manusia yang dibekali kompetensi dan siap berkiprah dengan karya-karya monumental. Derivasi paradigma link and match yang dikemukakan 20 tahun lalu itu bahkan telah diadopsi oleh global company. Seperti Google, Apple, IBM, Intel, hingga Starbucks yang dalam beberapa divisi merekrut karyawan tanpa melihat ijazah sebagai acuan.
Hal itu membuktikan bahwa link and match akan selalu relevan di setiap zaman. Tantangannya bagaimana menafsirkan kerangka kerja gagasan tersebut agar adoptable dalam bentuk kebijakan yang berdampak masif terhadap stakeholder pendidikan. Bukan cuma siswa, tapi juga guru, dan penyelenggara pendidikan lain. Termasuk juga melibatkan keluarga, komponen primer institusi pendidikan yang sering dilupakan.
Sumber: Detik.Com