Ravi Murdianto, dari Grobogan Meretas Asa ke Piala Dunia U-20
03 Oktober 2014, 09:00:19 Dilihat: 227x
Jakarta - Popularitas Ravi Murdianto melonjak dalam final Piala AFF 2013 di Sidoarjo, Jawa Timur. Simpati kemudian mengalir deras ketika penjaga gawang tim nasional U-19 itu menuturkan impian dan keluarganya.
Ravi tak henti-hentinya bersyukur mempunyai kedua orang tua yang tak hanya berorientasi kepada prestasi di pendidikan formal. Melihat anak lelaki mereka gemar bermain bola di lapangan, di jalan-jalan, dan di manapun yang memungkinkan, pasangan Hery Supriyanto dan Murminah memasukkan dia ke Sekolah Sepakbola (SSB) Bersemi di Grobogan, Jawa Tengah. Kala itu, Ravi masih duduk di kelas dia SDN II Tegowanu Kulon, Grobogan.
Ravi langsung jadi "bintang` di sana. Bukan karena prestasi, tapi dia sering terlambat datang ke tempat latihan. Dia pun harus melahap hukuman lari lima keliling sebelum bisa mendapatkan latihan rutin. Menurut sang ibunda, Ravi punya jadwal mengaji sepulang sekolah sebelum ke lapangan bola. Hukumannya lumayan berat untuk anak usia kelas dua SD. Ravi diminta mengelilingi lapangan lima kali.
Di tahun-tahun awal di SSB, Ravi lebih senang jadi gelandang. Tapi dengan postur bongsor, sang pelatih mengalihkan dia sebagai kiper. Keputusan itu tepat, Ravi moncer dan dilirik SSB yang lebih besar di Semarang. Dia tergabung dengan SSB Tugu Muda.
Tapi ada masalah menghadang. Hery yang kala itu bekerja sebagai sopir mobil box alat tulis tak punya cukup uang untuk biaya angkutan Tegowanu-Semarang pulang pergi. Sebab, hery juga harus membiayai kakak kedua Ravi, Galih Nur Wicaksono, yang juga ikut SSB yang sama. Artinya, Hery harus membiayai transport untuk dua putranya itu.
Seiring perjalanan waktu, Galih memutuskan untuk mengakhiri karier sepakbola yang baru dirintis. Ravi memilih terus. Kebetulan peluang untuk mengembangkan potensi terbuka lebar. Ravi diminati PPLP Sepakbola Jawa Tengah atau yang lebih dikenal sebagai Diklat Salatiga--yang pernah juga melahirkan pemain-pemain top nasional, salah satunya Bambang Pamungkas--ketika duduk di kelas 2 SMP.
Namun, kondisi keuangan keluarganya tak mendukung. Di saat bersamaan, Hery terkena PHK. Tabungan berupa tanah pun dilego dengan harga Rp 40 juta. Sebagian untuk biaya sehari-hari, sebagian lagi untuk uang saku Ravi.
Tak lama sejak peristiwa itu, Hery memutuskan menjadi pengumpul botol bekas. Para tetangga pun terbiasa melihat Ravi duduk membonceng sang ayah, bersaing dengan botol-botol di dalam karung.
Tak sedikit yang mengejek tapi ada pula yang memberikan simpati. Ravi sih tetap cuek dan menjadikan sebagai semangat untuk berprestasi di sepakbola.
Keteguhan hati pemuda kelahiran 13 Maret 1995 itu membuahkan hasil. Dua tahun di Salatiga, saat duduk di bangku kelas dua SMA, Ravi diminati Diklat Ragunan.
Nah, dari sanalah jalan ke timnas terbuka. Indra Sjafri yang menangani timnas U-17 sedang berburu kiper. Ravi lolos dan menjadi pilihan utama. Timnas U-17 diuji dalam turnamen di Hong Kong dan sukses menahbiskan diri menjadi juara.
Sederet turnamen kelompok umur pun dilakoni Ravi bersama tim yang dipoles Indra. Hingga kini, Ravi masih jadi yang utama. Dia juga jadi idola bagi orang tua dan para ABG.
Kini, Ravi ditunggu satu ajang penting yang sudah di depan mata, Piala Asia U-19 di Myanmar yang bergulir bulan ini. Sebuah ajang untuk mengawali mimpi besar Ravi yang diucapkan pada ulang tahun ke-19 pada 9 Januari tahun ini.
"Semoga bisa membela timnas lagi dan bisa memberikan yang terbaik untuk fans, negara dan keluarga. Harapannya bisa lolos ke Piala Dunia dari di Piala Asia," ujar Ravi di saat ulang tahun.