Menotti yang Bilang Indonesia Belum Main Secara Benar
Fitra Iskandar - Okezone
Timnas Indonesia Piala Dunia U-20 1979.(foto:FIFA)
Menghadapi Argentina dengan Diego Maradona-nya yang sudah kesohor, Indonesia hanya berharap tidak jadi lumbung gol di laga perdana Piala Dunia U-20 di Tokyo yang berlangsung 26 Agustus 1979. Sebelum bertolak ke Jepang, pelatih kepala Sucipto Suntoro mempersiapkan timnya untuk bisa bermain seperti tembok keraton. Tebal dan sulit ditembus.
Striker Timnas U-20 di turnamen itu, Bambang Nurdiansyah mengatakan pelatih saat itu menginstruksikan pemain bermain normal dengan formasi 4-3-3.” Ada libero, flat di tengah, di depan ada kiri luar, kanan luar, striker satu,” katanya.
Dari catatan media ketika itu, Sucipto memang merancang tim yang condong tebal di belakang dengan menumpuk pemain di belakang.
Imam Murtanto, Nus Lengkoan, Mundari Karya, Didik Darmadi dan Tommy Latuperissa menjadi benteng di depan kiper Endang Tirtana. Sejak dari Jakarta, Sucipto pun menitipkan tugas khusus kepada Mundari Karya untuk mengawal Maradona, pemain yang digadang-gadang media di Eropa sebagai rising star.
Tapi sebelum, melaksanakan tugasnya, Mundari Karya sempat bingung. “Yang mana Maradona pak,” tanya Mundari Karya. “Itu cing, yang nomor 10,” jawab Sucipto, menunjuk Maradona.
“Saya bingung, enggak bisa membedakan Maradona, Juan Barbas dan Ramon Diaz,” kata Mundari tertawa mengenang pertandingan, yang terjadi 34 tahun silam itu. Tiga “penari” Tango itu punya tampang yang rada-rada mirip, rambutnya juga sama-sama ikal.
Mundari Karya akhirnya benar-benar merasakan apa yang dibicarakan media tentang Maradona. Di lapangan Omiya Stadium, di hadapan sekira 15 ribu pasang mata, Maradona sudah kesetanan sejak menit awal.
“Setelah kick-off dia membawa bola melakukan penetrasi sendirian. Dia tendang bola, nyaris gol. Untung mentok tiang. Kalau waktu itu gol, gol tercepat hanya sekian detik. Maradona cepat dan kuat,” cerita Mundari.
Argentina seperti layaknya Tim Tango, tampil atraktif dengan umpan-umpan pendek yang merepotkan barisan pertahanan Indonesia. Lima gol pun akhirnya mereka sarangkan di laga pembuka Grup B itu. Tiga gol dicetak Ramon Diaz, dua gol dilesakkan Maradona.
Padahal Sucipto sempat berharap Raksasa Amerika Latin itu bisa tampil santai, dan menganggap enteng Indonesia sehingga, timnya bisa mendapat peluang. Meski pun kalah tapi skornya kecil.
“Siapa sangka sih tahun 1966 Korea Utara bisa mengalahkan Portugal? Dan siapa sangka sih Indonesia bisa menahan 0-0 Soviet tahun 1956,” kata Sucipto, kepada media sebelum berangkat ke Tokyo.
Harapan ini juga tidak terwujud saat bermain di dua laga selanjutnya. Indonesia tak jua mengalami nasib bagus. Polandia melesakkan enam gol tanpa bisa dibalas, selanjutnya Yugoslavia mencetak skor 5-0, membuat Indonesia terpuruk di posisi juru kunci grup B.
“Dua tim Eropa ini memainkan bola umpan silang saat melawan kita. Banyak gol yang terjadi dari situasi bola seperti itu, mengingat mereka tinggi-tinggi,” papar Mundari.
Argentina, Polandia dan Yugoslavia yang mereka hadapi menjadi tulang punggung tim senior di Piala Dunia 1982, dan berikutnya, Maradona cs menggondol Piala Dunia pada 1986. Dari tiga hasil pahit ini, Indonesia mendapat pelajaran dan pengalaman berharga.
Pelajaran itu sendiri tidak hanya datang dari pengalaman langsung berduel di atas lapangan selama 90 menit. Pelajaran yang menurut Mundari masih relevan dengan problem dunia sepakbola di Tanah Air sampai detik ini, juga meluncur langsung dari pelatih Argentina, Cesar Luis Menotti.
“Pemahaman bermain, itu yang saya kira. Harus kita benahi dari usia dini. Setiap pemain dibekali dengan individual taktik yang benar, bukan hanya bermain tapi tidak mengerti pemahaman bermain dengan benar,” katanya.
“Ketika konferensi pers setelah lawan Argentina, Pak Sucipto sempat bicara dengan Menotti, tentang permainan Indonesia. Menotti bilang, ‘Indonesia belum memainkan sepakbola dengan benar’.”
“Rupanya sampai sekarang kita belum benar kali ya? Hahaha, kemarin 007 (Indonesia vs Arsenal 0-7),” canda Mundari.